NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN
BAB I PENDAHULUAN
Syari’at langit turun dari Allah kepada rasul-Nya untuk memperbaiki manusia itu dalam bidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Akidah itu hanya satu. Di sini tidak terlepas terjadinya perubahan-perubahan guna untuk menegakkan tauhid ketuhanan. Sebenarnya dakwah sekalian Rasul-Rasul itu adalah sama. Firman Allah SWT dalam Al-Quran :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ (الأنبياء : ٢٥)
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum engkau, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. (QS. Al-Anbiya, 21:25)
Adapun ibadah dan mu’amalah itu pada umumnya asasnya itu telah disepakati orang, ditujukan untuk mendidik jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat. Diikat dengan ikatan tolong-menolong dan persaudaraan. Selain dari itu, maka orang yang hidup ini saling butuh membutuhkan. Tiap-tiap bangsa itu berbeda kebutuhannya. Apa yang cocok pada suatu masa belum tentu cocok pada masa berikutnya. Jalan yang ditempuh oleh dakwah dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu juga berbeda-beda. Hikmah tasyri’ di sini berbeda dengan yang di sana. Tidak diragukan lagi bahwa rahmat dan ilmu-Nya itu melapangkan segalanya. Dial ah yang memerintah dan melarang.[1]
لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (الأنبياء : ٢٣)
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang ditanya (QS. Al-Anbiya, 21:23)
Maka tidaklah aneh ada tasyri’ yang dahulu kini dibuang untuk keselamatan hamba dari hal ilmu yang dahulu pada permulaan dan kesudahannya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Al-Qur’an diturunkan secara berangsur- angsur kepada nabi Muhammad SAW. Dengan memperhatikan marhalah-marhalah yang beriringan tentang turunnya ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, nyatalah bahwa kita memerlukan suatu ilmu yang menyoroti langkah-langkah itu dan menolong kita dalam meneliti satu persatunya dengan sehalus mungkin, yaitu: ilmu nasikh mansukh, yang dapat dipandang sebagi suatu cara pengangsuran didalam turunnya wahyu.
Pengetahuan yang mendalam dalam bidang ini, memudahkan kita menentukan mana yang dahulu dan mana yang kemudian dari peristiwa-peristiwa yang telah diterangkan Al-Qur’an dan memperlihatkan kepada kita, hikmah Allah dalam mendidik makhluk, bahkan menerangkan kepada kita bahwasannya Al-Qur’an datang dari Allah, karena Allahlah yang menghapuskan mana yang dikehendaki dan menetapkan mana yang dikehendaki, tanpa ada seorang pun yang turut campur.[2]
BAB II PEMBAHASAN
1. Definisi Nasikh / Nasakh
Secara etimologi, nasakh berarti pembatalan, penghapusan dan peniadaan. Secara istilah yaitu, membatalkan suatu hukum dengan dalil yang datang kemudian.[3]
Definisi lain menjelaskan bahwa nasikh menurut bahasa artinya mengaitkan kepada arti yang hilang. Dikatakan matahari menasikhkan baying-bayang, artinya menghilangkannya. Juga dikaitkan dengan arti memindahkan sesuatu dari suatu tempat kepada suatu tempat. Sedangkan nasikh menurut istilah adalah membuang hukum syar’i dengan khithab syar’i. Dikeluarkan dengan hukum lalu dibuang yang asli.[4] Nasikh itu dikaitkan dengan firman Allah SWT :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا (البقرة ، ٢:١٠٦)
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al-Baqarah, 2:106)
Yang dibatalkan disebut mansukh, sedangkan yang membatalkan disebut nasikh. Para ahli ushul fiqih mengemukakan bahwa nasakh itu baru dianggap benar apabila :
Pembatalan itu dilakukan melalui tuntutan syara’ yang mengandung hukum dari syara’ (Allah dan Rasulnya). Yang membatalkan ini disebut dengan nasikh. Dengan demikian habisnya masa berlaku suatu hukum pada seseorang, seperti wafatnya seseorang atau hilangnya kecakapan bertindak hukum seseorang atau hilangnya illat (motivasi) hukum, tidak dinamakan nasikh.
Yang dibatalkan itu adalah hukum syara’ dan disebut dengan mansukh. Pembatalan hukum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang sumbernya bukan syara’ atau pembatalan adat istiadat jahiliyah melalui khittab (tuntunan) syara’. Tidak dinamakan nasakh.
Hukum yang membatalkan hukum terdalulu, datangnya kemudian.artinya hukum syara’ yang dibatalkan itu lebih dahulu datangnya dari pada hukum yang membatalkan.[5]
2. Rukun dan Syarat Nasikh
a. Rukun Nasikh.
Rukun nasikh itu ada empat, diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Adah al-nasakh, yaitu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
2) Nasikh, yaitu Allah ta’ala, karena Dia-lah yang membuat hukum dan Dia pula yang membatalkannya, sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu, nasikh itu pada hakikatnya adalah Allah.
3) Mansukh, yaitu hokum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
4) Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.[6]
b. Syarat Nasikh
Syarat nasikh ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang sudah disepakati adalah sebagai berikut :
1) Nasikh harus terpisah dari mansukh.
2) Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh.
3) Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’
4) Mansukh tidak dibatasi pada suatu waktu
5) Mansukh harus hukum-hukum syara’
Sedangkan yang belum disepakati diantaranya adalah :
1) Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.
2) Adanya hokum baru sebagai pengganti yang dinasakhkan.
3) Hukum pengganti lebih berat dari pada hukum yang dinasakhkan.
3. Pembagian Nasikh
Nasikh itu terbagi empat, yaitu :
Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran pula. Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya. Umpamanya menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat iddah ini dinasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh hari.
Kedua, Al-Quran itu dinasikhkan dengan sunnah (hadis), yang termasuk ini ada dua macam, yaitu :
1) Al-Quran itu dinasikhkan dengan hadis uhad. Jumhur, hal ini tidak diperbolehkan. Karena Al-Quran itu adalah mutawatir, harus diyakini, sedangkan uhad itu masih diragukan. Tidak sah membuang yang sudah diketahui itu dengan zhan (yang masih diragukan).
2) Al-Quran itu dinasikhkan dengan sunnah mutawatir. Diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal. Karena seluruh Al-Quran itu adalah wahyu.
Nasikh itu adalah semacam pernyataan. Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Imam Syafi’I, Ahli Zahir dan Ahmad merasa enggan menerima nasikh ini. Karena ada firman Allah yang berbunyi :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا (البقرة ، ٢:١٠٦)
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah, 2:106)
Sunah itu bukan lebih baik dari Al-Quran, dan bukan pula sebanding dengannya.
Ketiga, sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran. Ini diperbolehkan menurut Jumhur. Menghadap sembahyang ke Baitul Muqaddas itu ditetapkan oleh sunnah. Sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran yang berbunyi :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ (البقرة ، ٢:١٤٤)
Palingkanlah mukamu ke arah masjid al-haram (QS. Al-Baqarah, 2:144)
Menasikhkan sunnah dengan Al-Quran ini dilarang oleh Imam Syafi’i dalam salah satu riwayatnya. Sebab bila diperbolehkan menasikhkannya dengan sunnah di samping itu diperbolehkan pula dengan Al-Quran maka jelaslah di sini bahwa Al-Quran itu setara dengan sunnah.
Keempat, sunnah itu dinasikhkan dengan sunnah pula. Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu :
1) Mutawatir dinasikhkan dengan mutawatir pula.
2) Uhad dinasikhkan pula dengan uhad pula.
3) Uhad dinasikhkan dengan mutawatir
4) Mutawatir dinasikhkan dengan uhad.
4. Macam-Macam Nasikh dalam Al-Quran
Nasikh di dalam Al-Quran terdapat tiga macam.
Macam pertama, nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus. Umpama hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari A’isyah, katanya, ayat yang diturunkan mengenai usyur bagi perempuan yang menyusukan anak itu sudah diketahui haramnya. Maka yang sepuluh itu dinasikhkan dengan lima juga sudah diketahui. Setelah Rasulullah wafat, maka perempuan-perempuan yang tersebut ini membaca Al-Quran. Dan katanya membaca Al-Quran itu menurut zahir tilawah itu tetap ada buat selama-lamanya. Menurut Mana’ Al-Quthan, sebenarnya bukan begitu, karena tidak ada dalam mushaf Usmani. Di sini Mana’ Al-Quthan menjawab bahwa yang dimaksud ialah hamper wafatnya Muhammad bin Abdullah Al-Mu’afiriy. Menurut kenyataan bahwa tilawah itu pernah dinasikhkan. Yang demikian itu belum sampai kepada setiap orang, kecuali setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat maka sebagian orang membacanya.
Macam kedua, menasikhkan hukum dan tetap adanya tilawah. Hukum pernah menasikhkan ayat iddah, yang lamanya satu tahun, di samping tetap adanya tilawah. Macam inilah yang banyak terdapat di dalam kitab-kitab. Dalam hal ini, banyak ayat yang bersangkut dengan ini. Setelah diteliti kiranya hanya sedikit yang dapat dijadikan dasar. Hal ini dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi.
5. Hikmah Nasikh
a. Memelihara kemaslahatan.
b. Mengembangkan tasyri’ itu kepada tingkat yang sempurna dengan menunjang perkembangan dakwah dan melihat perkembangan keadaan orang banyak.
c. Mencoba mukallaf dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikut perintah dan meniadakannya.
d. Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya. Sebenarnya nasikh itu bila untuk memecahkan suatu persoalan, maka dalam hal ini akan menambah pahala. Dan jika untuk meringankan maka di sini merupakan suatu kemudahan.
6. Contoh – Contoh Nasikh[7]
Contoh Pertama :
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا (التوبة ، ٩:٤١)
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat (QS. At-Taubah, 9:41)
Ayat ini menasikhkan ayat yang berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى (التوبة ، ٩:٩١)
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit (QS. At-Taubah, 9:91)
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً (التوبة ، ٩:١٢٢)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang) (QS. At-Taubah, 9:122)
Ada yang mengatakan bahwa ayat ini termasuk Bab Takhsis, bukan nasikh.
Contoh Kedua :
الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ (الانفال ، ٨:٦٥)
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh (QS. Al-Anfal, 8:65)
Ayat ini menasikhkan ayat yang berbunyi :
الآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ (الانفال ، ٨:٦٦)
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang (QS. Al-Anfal, 8:66)
Contoh Ketiga :
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا 8 وَاللَّذَانِ يَأْتِيَانِهَا مِنْكُمْ فَآذُوهُمَا فَإِنْ تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُوا عَنْهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ تَوَّابًا رَحِيمًا (النساء ، ٤:١٥-١٦)
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. 8 Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa, 4:15-16)
Ayat ini dinasikhkan oleh ayat dera bagi perempuan yang masih perawan dalam surat An-Nur yang berbunyi sebagai berikut :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ (النور ، ٢٤:٢)
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. An-Nur, 24:2)
Dera terhadap perempuan yang masih perawan, dan rajam bagi yang telah bersuami, hal ini terdapat dalam sunnah. Bagi yang belum pernah nikah didera, dan bagi yang sudah nikah harus dirajam.
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nasikh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau memindahkan. Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan.
Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah. Syari’at selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu mesti ada dan terjadi pada sebagian hokum-hukum.
Nasikh itu terjadi pada berita-berita, tetapi terjadi pada hokum-hukum yang berhubungan dengan halal dan haram. Hukum-hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusia. Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang-orang yang sesat akan menjadi penyebab kesengsaraan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Halimudin, SH, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an-2, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995, hal. 29
[2] http://makalah-listanti.blogspot.com/2012/06/kaidah-penggantian-atau-penghapusan.html
[3] Khairul Uman, Ushul Fiqh 1, Bandung : CV. Pustaka Setia, 1998, hal. 195
[4] Halimudin, SH, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an-2, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995, hal. 30
[5] Khairul Uman, Ushul Fiqh 1, hal. 196
[6] Khairul Uman, Ushul Fiqh 1, hal. 200
[7] Halimudin, SH, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an-2, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1995, hal. 41